-
Saya tidak ingat persis, mungkin kejadian kecil itu terjadi kurang lebih lima tahun yang lalu. Waktu itu saya sedang duduk santai, ditemani segelas teh di ruang redaksi sebuah media lokal di Jayapura tempat kami bekerja sebagai kuli tinta. Tiba-tiba handphone jadulku berdering nyaring. Ternyata rekan kontributor daerah kami yang telepon.
“Sore Kaka (kakak), beritanya sudah saya kirim. Ada juga ole-ole untuk Kaka,” katanya sambil tertawa.
“Oke, terima kasih,” jawabku, tanpa sempat menanyakan apa yang dia maksud ole-ole. Tapi saya duga itu pasti foto, seperti bisaanya. Dia pun menutup telepon.
Tanpa pikir panjang saya bergegas membuka email. Benar saja, berita yang dia maksud sudah masuk. Ada pula lampiran foto sebanyak lima. Setelah proses download selesai, saya mulai membuka foto satu persatu. Tiga foto pertama adalah pendukung naskah berita tentang situasi politik daerah setempat yang cukup panas jelang pemilihan kepala daerah. Dua foto terakhir itu yang membuat saya tercengang. Bukan gambar tentang keindahan alam yang lazim ditemui di Papua, atau potret kemiskinan yang juga sering dia kirim untuk menambah perbendaharaan foto kami. Foto itu hanya sebuah spanduk, tampak dijepret seadanya. Yang membuat saya tercengang adalah kalimat yang tertera di sana. Saya tak ingat persis bagaimana itu ditulis, yang jelas spanduk itu berisi ajakan bagi kaum muda untuk menenggak miras (minuman keras). Ini sudah keterlaluan, pikirku.
Penasaran, saya langsung menelepon rekan tadi. “Kawan, foto itu kamu dapat di mana?” tanyaku.
“Di salah satu warung yang jual miras di sini Kaka,” jawabnya.
“Kok bisa begitu?”
“Ya begitulah, yang namanya miras di sini dijual seperti sembako.”
“Bagus tuh jadi bahan berita,” pancing saya.
“Waduh, susah Kaka,” jawabnya lagi.
“Susah bagaimana?” tanyaku mendesak.
“Kaka tahulah,” katanya.
“Oke kalau begitu, saya mengerti. Nanti saya kontak lagi,” kataku menutup telepon.
Keesokan paginya, saya bergegas ke ruangan pemimpin redaksi. Saya tunjukkan foto-foto itu.
Dia pun bolak-balik mengamati kedua foto tersebut.
“Sudah konfirmasi foto ini dari mana?” tanya sang bos.
“Sudah Pak, itu hasil jepretan sendiri,” jawabku.
“Sekarang kamu telepon Kapolresnya, ini nomornya,” sembari menyodorkan hp comunicatornya. Kalau perlu cari nomor para kandidat bupati, tanyakan pendapat mereka tentang miras, bagaimana komitmennya nanti jika terpilih.
“Baik Pak.” Saya pun menyalin nomor Sang Kapolres ke hp.
“Kamu beli ha-pe yang canggih dikitlah,” sergah Sang Bos.
“ Nantilah, kalau sudah jadi pemred juga,” kataku. Dia pun tertawa.
Padahal dalam hati saya bilang kasih naik gaji dong hehehehe….
“Sudah telpon sana!” katanya lagi setengah mengusir.
Hari itu juga saya telepon sang kapolres. Sekali call langsung diangkat.
“Selamat pagi komandan,” kataku menyapa.
“Selamat pagi. Dari mana ini?” dengan nada yang sangat ramah.
Singkat saya jelaskan nama dan media kami, tak lupa maksud saya menelepon.
Seperti dugaanku, dia tidak mau menjawab pertanyaanku.
“Besok Ade (adik) jalan-jalan ke kantorlah supaya kita lebih leluasa. Hari ini saya sibuk, jadi tak bisa bicara lama-lama,” katanya berdalih.
“Saya kan di Jayapura pak,” kataku.
“Kalau begitu lain waktu ya baru wawancara, saya benar-benar sibuk. Sudah dulu ya dik.” Telepon putus.
Beberapa hari berikutnya saya terus menghubungi sang kapolres, tapi tak pernah lagi diangkat. Benar juga kata rekan kontributor tadi, “susah”.
Hari berganti hari, saya tak lagi mengejar berita itu, tapi foto itu selalu ada diingatanku. Paling menguap begitu saja, pikirku. Rasa pesismisku bukan tak berdasar. Ada media seperti Jubi, majalah Selangkah yang getol bersuara soal maraknya peredaran miras di Papua, tapi tak pernah ada tanggapan serius. Yang lain? Maaf… sepertinya telah “terbeli”.
Sangat jelas dampak buruk yang ditimbulkan oleh miras, namun tak banyak yang peduli. Sejatinya, miras bukanlah budaya asli Papua, dari beberapa referensi diketahui bahwa orang Papua mengenal miras setelah mengalami kontak dengan orang Eropa dan Melayu, Tidore, dan Timor. Lalu mengapa mentradisi dan terpelihara eksistensinya di Papua?
Ada yang bilang sumbangan untuk PAD-nya banyak. Berapa banyak? Lebih mahal dari nyawa manusia?.
Beberapa kali saya melihat demonstrasi masyarakat asli Papua, tapi semua tentang referendum, kasus pelanggaran HAM, tak satu pun yang menuntut penghentian peredaran miras. Padahal Papua punya UU Otsus yang mana di dalamnya dimaksudkan untuk memproteksi masyarakat asli Papua. Lalu apa yang mereka terjemahkan tentang hal itu? Apakah yang mereka maksud itu hanya sebatas kuota putra daerah pada setiap penerimaan CPNS, ataukah sudah cukup puas dengan penguasaan kursi eksekutif dan legislatif?. Jangan-jangan mereka sudah terbuai dengan gelontoran dana otsus yang triliunan rupiah itu. Mengapa mereka terlalu berpikir sempit?. Di mana peran Majelis Rakyat Papua, yang harusnya lebih aktif mendorong hal ini ke legislatif dan eksekutif ? Kan MRP lembaga representatif cultural orang Papua, terus eksekutif dan legislatifnya juga diduduki orang Papua asli. Kok susah amat ya? Jadi sebenarnya siapa yang setengah hati menjalankan otsus, pemerintah pusat atau orang Papua sendiri?
Pihak gereja yang sebenarnya sangat bisa diharapkan lebih sibuk dengan rutinitas ibadahnya. Lupa dengan lingkungan sekitar.
Sering juga saya membaca visi-misi calon kepala daerah, kok tidak ada yang singgung soal miras ya?
Tapi apresiasi buat beberapa kepala daerah/bupati yang dengan tegas menolak miras di daerahnya. Seperti Bupati Jayawijaya yang kabarnya bakal mencabut izin masuk pesawat yang mengangkut miras berikut perusahaan jasa pengirimannya.
Agak ironis melihat para aktivis HAM yang setiap waktu berteriak tentang kekerasan aparat. Tapi mereka tidak pernah menghitung berapa banyak orang tak bersalah yang menjadi korban di jalan raya akibat kecelakaan karena pengaruh miras? Berapa orang yang dipalak dan dipukul oleh para tukang mabuk itu tiap harinya?
Berapa wanita yang mengalami pemerkosaan? Berapa ibu dan anak yang menjadi korban kekerasan suami dan ayah yang teler? Apakah para korban itu tak punya hak asasi sebagai manusia?
Mereka juga berteriak tentang adanya genosida lewat HIV-AIDS. Genosida yang mana? Ini sih bukan genosida, ini namanya bunuh diri. Ingat miras adalah salah satu penyebab perilaku menyimpang yang menjadi factor utama merebaknya virus HIV-AIDS di Papua.
Kalau Anda yang baru pertama kali ke Papua, jangan heran jika berjalan-jalan di pagi hari dan mendapati ada orang tidur di got, di emperan toko, di ruang ATM, mereka bukannya tak punya rumah, bukan miskin, tapi itulah akibat dari rutinitas menenggak miras semalaman. Pecandunya tak kenal usia, dari remaja, muda, tua. Juga tak kenal status pengangangguran hingga pejabat. Pernah kejadian, rumah samping kantor kami didatangi seseorang dalam keadaan mabuk berat, datang dengan rekan-rekannya mengendarai mobil, tak jelas duduk perkaranya sampai dia ngamuk. Saya mengenali dia sebagai salah seorang anggota DPRD setempat. Bukan hanya oknum wakil rakyat seperti tadi yang bisa Anda temukan dengan mudah sedang teler. Sejumlah oknum anggota pegawai negeri sipil (PNS) pun sering terlihat mangkal di beberapa titik masih dengan uniform-nya. Kurang ajar atau memang tidak sekolah ya?
Penulis sendiri sering mengalami pengalaman buruk dengan oknum PNS mabuk.
Yang paling kuingat, enam tahun lalu kurang lebih, waktu itu saya dalam perjalanan dengan angkot dari Abepura menuju Entrop. Sialnya, kursi bagian depan telah penuh, terpaksa harus duduk di belakang dengan seorang lelaki, masih dengan seragam PNS-nya, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 22.00. Aroma alcohol langsung begitu terasa. Sebotol miras digenggam, terlihat masih penuh. Tanpa ditanya, dia mulai bercerita tentang riwayat pendidikannya, yang ternyata lulusan salah satu universitas ternama di Tanah Jawa. Sebagai pendengar yang baik, ya saya percaya saja..hehehehe. Hebatnya, sesekali dia bicara dengan bahasa Inggris yang cukup fasih. Lama-lama dia mulai merangkul bahuku, dan memaksa saya ikut minum. Saya menolak dengan halus. “Kalau ko tra mau minum berarti ko bukan saudaraku,” katanya setengah mengancam. “Gawat juga nih, daripada benjol, minum ajalah,” pikirku, sambil mencari akal segera bebas dari orang ini.
Saya mengambil keputusan untuk segera turun, kendati rumah masih jauh. “Kaka, saya duluan eh. Sa pu rumah sudah dekat jadi,” kataku.
“Tidak bisa!!!, kita harus sama-sama ke rumah. Kitong kasih habis ini barang,” katanya dengan nada tinggi yang menarik perhatian para penumpang lainnya. Dia kemudian membuka tas yang ditaruhnya di lantai dan memperlihatkan isinya yang penuh dengan botol miras. Beberapa di antaranya sudah kosong. Pantas saja dia sudah mabuk hingga tingkat sableng.
Untung saja beberapa penumpang lainnya yang adalah warga pribumi membela saya, dan akhirnya “dengan berat hati” dia membiarkan saya turun.
Kalau Anda berdomisili di Papua, saya yakini Anda pun punya pengalaman dengan orang mabuk.
Di Kota Jayapura ada beberapa titik kumpul para pecandu miras terutama malam hari seperti taman Mesran, taman Imbi, bekas pasar Ampera, pantai Dok II (Kursi Panjang), depan kantor Depag Entrop,terminal Entrop, pasar Hamadi dan halaman kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Papua. Tebak, siapa yang suka mangkal di tempat terakhir tadi.
Di Abepura, terkonsentrasi di seputaran Lingkaran. Itu yang lazim terlihat, masih banyak tempat lainnya, di gang-gang, emperan toko, rumah-rumah hingga asrama mahasiswa. Lebih memprihatinkan lagi kalau melihat fakta sekarang ini sudah banyak pecandu adalah remaja putri dan anak usia sekolah. Nah, yang dikhawatirkan ke depan adalah munculnya generasi Papua yang alkoholik, generasi yang terjajah miras.
Saya sering diskusi dengan teman-teman Papua. Setengah bercanda, saya bilang, kalau kalian mau merdeka, merdeka dulu dong dari miras. Dari sisi SDM, sama saja dengan manusia lainnya, yang penting belajar dengan metode tepat dengan dukungan fasilitas. Buktinya anak-anak koteka dan bertelanjang dari pedalaman Papua yang didik di Surya Institut dalam waktu relatif singkat bisa berprestasi hingga tingkat internasional. Kemudian tak ada yang meragukan bakat alam anak Papua di bidang olahraga terutama sepakbola. Di bidang tarik suara, andai saja Indonesian Idol mengadakan audisi di salah satu kota di Papua saya pastikan para juri akan kesulitan memilih mana peserta yang tidak lolos.
Kalau sumber daya alam tidak usah ditanya. Ada yang bilang masih bisa bikin sepuluh tambang emas serupa Freeport di Papua. Belum lagi wisata alam, sumber hutan, laut dan lain lain. Tak salah jika almarhum Franky Sahilatua sebut Papua sebagai “sorga kecil jatuh ke bumi”. Tapi kalau masyarakatnya begini masihkah Papua layak dibilang sorga kecil?
Akhir tahun lalu, saya mendapat informasi dari seorang teman, kalau dia mendapat bocoran dari salah satu orang dekat Gubernur (A1 pokoknya), bahwa salah satu gebrakan Gubernur baru itu adalah memberantas miras dari Tanah Papua. Untuk pertama kalinya saya mengapresiasi kepala daerah yang sebenarnya tidak saya harapkan menang pada pilgub lalu. Saya bilang kalau begitu dia tak perlu lagi kampanye pada periode berikut, itu investasi besar. Suara mayoritas akan kembali berpihak padanya. Sayangnya kabar itu hingga kini tak ada tindak lanjut. Sedang diusahakan atau sudah nabrak great wall-nya? Entahlah.
Pihak DPRP juga kabarnya mulai menggodok perda tentang pelarangan miras, dan mudah-mudahan ini juga bukan sekadar wacana. Sumber: http://www.papuapos.com/index.php/utama/item/3605-peredaran-miras-di-papua-akan-dihentikan
Anehnya hal ini justru didorong jelang akhir masa kerja mereka. Patut diragukan, sekarang kan sudah pada sibuk kampanye. Bagaimana jika tidak selesai hingga pileg nanti? Apakah keanggotaan periode berikut akan melanjutkannya?
Sebelumnya di tingkat kota, sudah ada perda tentang pembatasan peredaran miras, yang hanya khusus di tempat tempat seperti hotel, dan tempat hiburan. Tapi sepertinya dijalankan dengan setengah hati, tak ada tindakan tegas bagi pelanggarnya. Masih banyak kios-kios yang menjual miras secara bebas.
Bisnis miras memang menjanjikan keuntungan besar. Maklum saja harga di Papua selangit, tapi konsumennya tetap banyak. Kalau bertanya siap saja distributor miras di Papua, tak banyak yang saya kenal. Khusus di Jayapura, yang pertama adalah seorang purnawirawan TNI, sangat disayangkan karena dia masih berdarah Papua, itu artinya dia menyalurkan racun untuk masyarakatnya sendiri.
Yang kedua, dan yang terbesar adalah seorang pengusaha keturunan Tionghoa. Dia seorang businessman yang cukup lihai menurut saya. Dibungkus sifat kedermawanan, kedekatan dengan media, pihak keamanan dan bertopeng Persipura. Dia dikenal sebagai orang dermawan, cukup dikenal oleh awak media. Mungkin itu pula sebabnya sangat jarang pemberitaan miring tentang miras, yang mengaitkan dirinya. Dalam kendalinya, Persipura menjadi klub paling berprestasi di Liga Super Indonesia. Mengganggu dia berarti mengganggu Pesipura. Jangan kaget kalau saya bilang PSSI pun pernah “kecolongan”, orang yang saya maksud sempat menjabat sebagai manajer timnas senior. Sudah jelas kan?
Dari semua itu, pertanyaan besarnya adalah mengapa miras begitu susah diberantas dari Papua? Siapa di belakang semua itu? Kurang jelas, kita hanya bisa menduga-duga, yang pasti itu sebuah kekuatan besar, dan itu yang tadi saya sebut dengan great wall (tembok raksasa). Mungkin link ini bisa jadi jawabannya: http://majalahselangkah.com/content/minuman-keras-keras-kepala-di-tanah-papua
Waduh…. tambah susah!.
sumber: http://www.kompasiana.com/
*** maaf jika terlalu banyak bertanya, dan maafkan jika tulisannya acak-acakan. Ini hanya sekadar unek-unek sebagai orang yang lahir besar di Papua, dan merasa sebagai orang Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar