Namun, perda anti-miras yang sudah lama direncanakan akan
dipertahankan oleh pemerintah kota Cirebon mendapat dukungan dari
berbagai pihak baik dari, DPRD, ormas-ormas, dan masyarakat kota
Cirebon. Sehingga, permintaan pemerintah pusat terancam tidak bisa
dipenuhi oleh pemerintah kota Cirebon.
Ketua umum Gerakan Nasional Anti-Miras (Genam), Fahira Indris mengapresiasi pemerintah kota Cirebon yang mempertahankan Perda anti-miras. “Miras sangat berdampak buruk, khususnya kepada remaja dan anak-anak,” ujar Fahira, Rabu (7/5) saat dihubungi Republika.
Fahira mengatakan, pemerintah pusat jangan mempersulit atas nama apapun terhadap kebijakan pemerintah daerah. Sebab, kata Fahira, pemerintah daerah yang mengetahui secara detail terhadap kondisi daerahnya atau masyarakatnya.
Pemerintah pusat, tegas Fahira, harus bisa menghargai setiap keputusan yang diambil oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah memiliki otoritas sendiri dalam menentukan nasib daerahnya dengan sistem otonomi daerah.
Fahira menambahkan, gerakan anti-miras yang dilakukannya selama ini bukan karena isu agama. Namun, lebih kepada fakta dilapangan, yaitu sekitar 50 orang meninggal akibat meminum minuman keras. “Miras berdampak sosial, bukan masalah masuk neraka,” kata calon DPD DKI jakarta ini.
Ia menilai, peredaran dan penjualan miras di Indonesia sangat tidak terkontrol. Berbeda dengan di luar negeri, lanjut Fahira. Di luar negeri pembeli minuman keras harus menyertakan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Akibat dari tidak terkontrolnya penjualan dan peredaran miras di Indonesia, kata Fahira, berdampak bebasnya para remaja dan anak-anak membeli minuman keras. Oleh karena itu, menjauhkan minuman keras dari jangkauan remaja dan anak-anak menjadi fokus utama Fahira Indris.
“Miras menjadi pintu masuk bagi remaja untuk mengkonsumsi narkoba,” tuturnya.
Selain itu, Fahira terus melakukan gerakan anti-miras dengan target setiap daerah memiliki perda anti-miras. Kemudian, Fahira besarta kelompok anti-miras terus melakukan edukasi ke sekolah-sekolah untuk mensosialisasikan untuk tidak mengkonsumsi minumas keras. “Saat ini baru dibawah angka 10 pemerintah daerah yang memiliki perda anti-miras,” ucapnya.
Sebelumnya, anggota pansus perda miras, Dani Mardani, mengatakan, tuntutan Kemendagri bertentangan Pancasila dan Pasal 29 (1) UUD 1945. Dani juga mengatakan, bebasnya peredaran minuman beralkohol dapat menghilangkan nilai-nilai relegius. (www.republika.co.id)
Ketua umum Gerakan Nasional Anti-Miras (Genam), Fahira Indris mengapresiasi pemerintah kota Cirebon yang mempertahankan Perda anti-miras. “Miras sangat berdampak buruk, khususnya kepada remaja dan anak-anak,” ujar Fahira, Rabu (7/5) saat dihubungi Republika.
Fahira mengatakan, pemerintah pusat jangan mempersulit atas nama apapun terhadap kebijakan pemerintah daerah. Sebab, kata Fahira, pemerintah daerah yang mengetahui secara detail terhadap kondisi daerahnya atau masyarakatnya.
Pemerintah pusat, tegas Fahira, harus bisa menghargai setiap keputusan yang diambil oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah memiliki otoritas sendiri dalam menentukan nasib daerahnya dengan sistem otonomi daerah.
Fahira menambahkan, gerakan anti-miras yang dilakukannya selama ini bukan karena isu agama. Namun, lebih kepada fakta dilapangan, yaitu sekitar 50 orang meninggal akibat meminum minuman keras. “Miras berdampak sosial, bukan masalah masuk neraka,” kata calon DPD DKI jakarta ini.
Ia menilai, peredaran dan penjualan miras di Indonesia sangat tidak terkontrol. Berbeda dengan di luar negeri, lanjut Fahira. Di luar negeri pembeli minuman keras harus menyertakan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Akibat dari tidak terkontrolnya penjualan dan peredaran miras di Indonesia, kata Fahira, berdampak bebasnya para remaja dan anak-anak membeli minuman keras. Oleh karena itu, menjauhkan minuman keras dari jangkauan remaja dan anak-anak menjadi fokus utama Fahira Indris.
“Miras menjadi pintu masuk bagi remaja untuk mengkonsumsi narkoba,” tuturnya.
Selain itu, Fahira terus melakukan gerakan anti-miras dengan target setiap daerah memiliki perda anti-miras. Kemudian, Fahira besarta kelompok anti-miras terus melakukan edukasi ke sekolah-sekolah untuk mensosialisasikan untuk tidak mengkonsumsi minumas keras. “Saat ini baru dibawah angka 10 pemerintah daerah yang memiliki perda anti-miras,” ucapnya.
Sebelumnya, anggota pansus perda miras, Dani Mardani, mengatakan, tuntutan Kemendagri bertentangan Pancasila dan Pasal 29 (1) UUD 1945. Dani juga mengatakan, bebasnya peredaran minuman beralkohol dapat menghilangkan nilai-nilai relegius. (www.republika.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar