Demi menikmati perjalanan, saya memilih
menepi di anjungan belakang duduk di sebelah bapak jurumudi ketimbang
berdesakan di bagian perut perahu. Meski sesekali asap rokok melintas di
depan muka; tetap ya hidup itu indah ketika kita bisa mensyukurinya.
Semilir angin di sepanjang perjalanan membuat mata terkantuk-kantuk.
Jadilah rebahan menjadi pilihan yang menyempurnakan kenikmatan sembari
mendengarkan suara musisi idola lewat earphone yang disumpal di kuping. Sekali lagi kukatakan, hidup itu indah zzz …zz..z
Segala yang ada di muka bumi ini
diciptakan Tuhan ada maksud dan tujuannya, sekecil apapun itu jika
dipakai dengan bijaksana pastilah bermanfaat termasuk candu aka opium!
Di dunia medis opium terkenal sebagai penghilang rasa sakit yang maknyos
hingga saat ini. Akan tetapi, ketika pemakaiannya disalahgunakan maka
dia menjadi momok bagi penggunanya.
Oei Tiong Ham,
namanya tercatat sebagai salah seorang pengusaha modern abad ke-20
yang hidup bergelimang harta dengan gaya hidup kebarat-baratan. Tiong
Ham dikenal sebagai Raja Gula
dengan sejumlah pabrik gula menyebar di Jawa. Selain gula, Tiong Ham
memiliki usaha sampingan yang menghasilkan keuntungan besar sebagai
pengepak opium!
Mengacu pada paparan John R. Rush dalam
Candu Tempo Doeloe; ketika Belanda pertama kali mendarat di pulau Jawa
pada akhir abad ke-16, opium sudah menjadi komoditas penting dalam
perdagangan regional. Untuk menguasai perdagangan opium pada 1677 VOC
membuat perjanjian dengan Raja Amangkurat II demi menjamin diberikannya
monopoli kepada VOC untuk mengimpor opium ke dalam wilayah Kerajaan
Mataram dan mengedarkannya di dalam negeri. Kesepakatan jaminan monopoli
penjualan opium ini disebut pak opium (opiumpacht).
Ketika banyak pengepak opium yang
gulung tikar pada 1890, Oei Tjie Sien ayah Oei Tiong Ham malah baru
mulai merintis usaha pengepakan opium. Mereka menguasai pak opium
Semarang, Surakarta, Yogyakarta dan Surabaya. Oei Tiong Ham memegang
kendali perusahaan keluarganya pada 1893 dan terus mendominasi pasar
opium Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bisnis Oei Tiong Ham merajai pasar
gula di Jawa dan pasar opium di Jawa Tengah. Woouuuw, kereeen!
Pada awal abad ke-19 opium tersedia luas
di Jawa khususnya di daerah pesisir utara dengan kota-kota
pelabuhannya dan di Kerajaan Surakarta serta Yogyakarta yang padat
penduduknya. Mengisap opium kemudian menjadi ciri umum kehidupan kota
dan desa Jawa pada masa itu termasuk di kalangan orang Tionghoa dengan
mayoritas pelanggannya adalah penduduk Jawa asli!
Orang-orang Tionghoa kaya menikmati pipa
opium di rumah mereka dan di klub-klub opium pribadi sedangkan yang
dari golongan ekonomi kurang mampu, mengisap opium di pondok-pondok
umum dengan penduduk setempat. Orang -orang Jawa membeli opium dengan
penghasilan mereka sebagai kuli perkebunan, pedagang kecil serta pekerja
rendahan dan dari hasil pejualan hasil ladangnya.
Ahaaa, sepertinya kami menjadi penguasa
di jalur candu ini! Terbukti, tak satu pun jung/perahu yang berpapasan
dengan perahu kami membuat imaji menari-nari membayangkan kejayaan 2 – 3
abad yang lampau.
“Naaaah, itu pintu belakang rumah
candu!” seruan pak Yon dari Forum Komunikasi Masyarakat Sejarah
(Fokmas) yang menemani perjalanan senja itu membangunkan dari lamunan.
Tak lama, karena saya kembali membaringkan tubuh menikmati dekapan sang
bayu yang menyentuh permukaan kulit dengan lembut membuat mata merem
melek hingga perahu mencapai mulut muara. Samudera raya terbentang di
depan mata. Kami beristirahat sejenak menikmati matahari tenggelam
sembari sesekali melemparkan tanya pada dua lelaki yang sedang
memancing di pinggir sungai serta seorang ibu yang sibuk membuat
tanggul pasir. Jelang maghrib, kami beranjak dari Lasem kembali ke
Rembang untuk bersih-bersih.
Malam menjemput, gerimis masih turun
satu-satu saat kaki melangkah memasuki pekarangan rumah seribu pintu,
rumah candu! Yes, malam ini kami mendapat undangan untuk berpesta di
rumah candu! Bukan, bukan untuk menikmati pipa-pipa pembangkit khayalan
namun untuk menikmati alunan musik peranakan sambil mencicipi soto
Lasem. Tanpa kuasa menampik 3 (tiga) mangkok soto silih berganti tandas,
menghalau dingin dan menghangatkan perut.
Usai santap malam, kami menyempatkan
berkeliling ke setiap sudut rumah sembari membayangkan bagaimana jalur
transportasi candu pada jaman kejayaannya dulu. Candu diangkut keluar
masuk ke dalam gudang penyimpanan melalui terowongan kecil dengan akses
langsung ke sungai menuju samudera raya, perdagangan internasional!
Inilah sejarah, menanti siapa yang bersedia untuk melestarikan dan
mengisahkannya pada generasi kini dan yang akan datang: Lasem pernah
berjaya! Tabik.
Olive Bendon
penikmat alam ciptaan Tuhan, senang berjalan kaki & menyesap senyap saat mutar-mutar di kuburan tua.
(sejarah.kompasiana.com).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar