18 Mei 2014

Kecanduan di Corong Opium

Rombongan kami mencapai tempat pembuatan jung (perahu khas Hokkian) Lasem saat mentari mulai condong ke barat. Sebuah jung telah menanti, siap mengantarkan kami menyusuri jejak opium sepanjang aliran sungai Babadan, Lasem. Hmmm … terbayang satu perjalanan yang berbeda dari yang pernah dijalani. Ini kali kedua saya akan bertualang menyusuri sungai setelah perjalanan seru ke Lakkang akhir Desember 2012 lalu.
jalur candu, lasem tempo doeloe
Mari menikmati jalur transportasi sungai di Corong Candu, Lasem
Demi menikmati perjalanan, saya memilih menepi di anjungan belakang duduk di sebelah bapak jurumudi ketimbang berdesakan di bagian perut perahu. Meski sesekali asap rokok melintas di depan muka; tetap ya hidup itu indah ketika kita bisa mensyukurinya. Semilir angin di sepanjang perjalanan membuat mata terkantuk-kantuk. Jadilah rebahan menjadi pilihan yang menyempurnakan kenikmatan sembari mendengarkan suara musisi idola lewat earphone yang disumpal di kuping. Sekali lagi kukatakan, hidup itu indah zzz …zz..z
Segala yang ada di muka bumi ini diciptakan Tuhan ada maksud dan tujuannya, sekecil apapun itu jika dipakai dengan bijaksana pastilah bermanfaat termasuk candu aka opium! Di dunia medis opium terkenal sebagai penghilang rasa sakit yang maknyos hingga saat ini. Akan tetapi, ketika pemakaiannya disalahgunakan maka dia menjadi momok bagi penggunanya.
Oei Tiong Ham, namanya tercatat sebagai salah seorang pengusaha modern abad ke-20 yang hidup bergelimang harta dengan gaya hidup kebarat-baratan. Tiong Ham dikenal sebagai Raja Gula dengan sejumlah pabrik gula menyebar di Jawa. Selain gula, Tiong Ham memiliki usaha sampingan yang menghasilkan keuntungan besar sebagai pengepak opium!
Mengacu pada paparan John R. Rush dalam Candu Tempo Doeloe; ketika Belanda pertama kali mendarat di pulau Jawa pada akhir abad ke-16, opium sudah menjadi komoditas penting dalam perdagangan regional. Untuk menguasai perdagangan opium pada 1677 VOC membuat perjanjian dengan Raja Amangkurat II demi menjamin diberikannya monopoli kepada VOC untuk mengimpor opium ke dalam wilayah Kerajaan Mataram dan mengedarkannya di dalam negeri. Kesepakatan jaminan monopoli penjualan opium ini disebut pak opium (opiumpacht).
jalur candu Lasem
Pintu belakang rumah candu dengan akses langsung ke sungai sebagai jalur transportasi candu
Ketika banyak pengepak opium yang gulung  tikar pada 1890, Oei Tjie Sien ayah Oei Tiong Ham malah baru mulai merintis usaha pengepakan opium. Mereka menguasai pak opium Semarang, Surakarta, Yogyakarta dan Surabaya. Oei Tiong Ham memegang kendali perusahaan keluarganya pada 1893 dan terus mendominasi pasar opium Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bisnis Oei Tiong Ham merajai pasar gula di Jawa dan pasar opium di Jawa Tengah. Woouuuw, kereeen!
Pada awal abad ke-19 opium tersedia luas di Jawa khususnya di daerah pesisir utara dengan kota-kota pelabuhannya dan di Kerajaan Surakarta serta Yogyakarta yang padat penduduknya. Mengisap opium kemudian menjadi ciri umum kehidupan kota dan desa Jawa pada masa itu termasuk di kalangan orang Tionghoa dengan mayoritas pelanggannya adalah penduduk Jawa asli!
Orang-orang Tionghoa kaya menikmati pipa opium di rumah mereka dan di klub-klub opium pribadi sedangkan yang dari golongan ekonomi kurang mampu, mengisap opium di pondok-pondok umum dengan penduduk setempat. Orang -orang Jawa membeli opium dengan penghasilan mereka sebagai kuli perkebunan, pedagang kecil serta pekerja rendahan dan dari hasil pejualan hasil ladangnya.
terowongan candu
Terowongan kecil (ukuran asli lebih lebar) sebagai pintu keluar masuk candu untuk diangkut dari/ke perahu ke/dari dalam gudang penyimpanan rumah candu
Ahaaa, sepertinya kami menjadi penguasa di jalur candu ini! Terbukti, tak satu pun jung/perahu yang berpapasan dengan perahu kami membuat imaji menari-nari membayangkan kejayaan 2 – 3 abad yang lampau.
“Naaaah, itu pintu belakang rumah candu!” seruan pak Yon dari Forum Komunikasi Masyarakat Sejarah (Fokmas) yang menemani perjalanan senja itu membangunkan dari lamunan. Tak lama, karena saya kembali membaringkan tubuh menikmati dekapan sang bayu yang menyentuh permukaan kulit dengan lembut membuat mata merem melek hingga perahu mencapai mulut muara. Samudera raya terbentang di depan mata. Kami beristirahat sejenak menikmati matahari tenggelam sembari sesekali melemparkan tanya pada dua lelaki yang sedang memancing di pinggir sungai serta seorang ibu yang sibuk membuat tanggul pasir. Jelang maghrib, kami beranjak dari Lasem kembali ke Rembang untuk bersih-bersih.
jalur candu
Matahari tenggelam di muara
Malam menjemput, gerimis masih turun satu-satu saat kaki melangkah memasuki pekarangan rumah seribu pintu, rumah candu! Yes, malam ini kami mendapat undangan untuk berpesta di rumah candu! Bukan, bukan untuk menikmati pipa-pipa pembangkit khayalan namun untuk menikmati alunan musik peranakan sambil mencicipi soto Lasem. Tanpa kuasa menampik 3 (tiga) mangkok soto silih berganti tandas, menghalau dingin dan menghangatkan perut.
rumah candu
Berasa di kondangan deh mendengar mereka bermusik di malam itu hehe
soto lasem
Soto Lasem sajian di rumah candu menanti diserbu
Usai santap malam, kami menyempatkan berkeliling ke setiap sudut rumah sembari membayangkan bagaimana jalur transportasi candu pada jaman kejayaannya dulu. Candu diangkut keluar masuk ke dalam gudang penyimpanan melalui terowongan kecil dengan akses langsung ke sungai menuju samudera raya, perdagangan internasional! Inilah sejarah, menanti siapa yang bersedia untuk melestarikan dan mengisahkannya pada generasi kini dan yang akan datang: Lasem pernah berjaya! Tabik.

Olive Bendon

penikmat alam ciptaan Tuhan, senang berjalan kaki & menyesap senyap saat mutar-mutar di kuburan tua.
(sejarah.kompasiana.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar