Pekan lalu rumah Suratijah dan suaminya, Sawal, di Gang Sinoman 8, Kecamatan Prajuritkulon, Kota Mojokerto, Jatim, masih berantakan. Keluarga baru memakamkan Binarto. Sisa bungkus air mineral dan makanan ringan untuk menjamu tamu masih tergeletak di sudut rumah itu.
Di teras rumah yang berukuran 5 meter x 2 meter, Suratijah bercerita, minuman keras menjadi kelemahan Binarto. Pria yang bekerja sebagai tukang parkir di Mojokerto ini tak bisa menolak ajakan temannya untuk berpesta minuman keras.
”Masalah ini datang dari diri sendiri. Semoga kesalahan anak saya dapat diampuni,” kata Suratijah. Ia juga berharap penjual cukrik maut itu mendapatkan hukuman setimpal.
Tragedi yang dialami Binarto berawal pada malam pergantian tahun, 31 Desember 2013. Malam itu, sebanyak 28 pemuda, termasuk Binarto, merayakan tahun baru dengan berkumpul sambil minum cukrik di Kota Mojokerto. Mereka terbagi dalam lima kelompok dan berpesta di lima tempat berbeda.
Sebelum ditenggak, cukrik itu dicampur dengan minuman lain, seperti kopi, teh bersoda, dan bir. Pada awal tahun baru itu, mereka mabuk berat, dan pulang ke rumah masing-masing untuk beristirahat.
Empat hari kemudian, Sabtu (4/1), diketahui 24 orang di antara 28 orang yang minum cukrik dalam keadaan kritis dan dirawat di empat rumah sakit berbeda di Kabupaten/Kota Mojokerto. Sebanyak 15 orang di antaranya tewas pada hari Sabtu dan Minggu. Senin (6/1), Binarto dan Ahmad Basuki menambah panjang daftar korban tewas menjadi 17 orang.
”Hampir semua korban masuk ke rumah sakit dengan gejala sama, pusing sampai pingsan, mual, sulit tidur, dan mengalami kebutaan,” jelas Kepala Polresta Mojokerto Ajun Komisaris Besar Wiji Suwartini. Cukrik yang mengandung zat metanol itu dilaporkan membunuh korbannya paling cepat dua hari setelah diminum.

Organ rusak

M Arif (16), korban kritis yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Wahidin Sudiro Husodo, Mojokerto, tak berdaya ketika ditemui pekan lalu. Ia terbaring di ranjang dengan jarum infus tertanam di lengannya. Ia tak banyak bergerak. Seorang kerabatnya mengatakan, pelajar kelas I SMK di Kota Mojokerto itu kesulitan melihat. Pandangannya kabur.
Kepala Pusat Laboratorium Forensik Polri Cabang Surabaya Komisaris Besar Magdalena Sri Handayani menjelaskan, cukrik yang dioplos dengan kopi atau minuman berkafein lain memiliki kandungan yang berbahaya. Alkohol menimbulkan kantuk, kafein membuat tubuh terjaga. ”Jantung bingung dan organ dalam rusak,” katanya.
Polresta Mojokerto bergerak cepat, segera menangkap dua penjual cukrik, yaitu Roni dan Nuraini. Penyelidikan berlanjut, mencari pemasok cukrik itu.
Belum tuntas penyelidikan di Mojokerto, tiga hari kemudian, Rabu (8/1), empat warga Kota Surabaya juga tewas karena minum cukrik. Korban adalah warga satu kampung di Menanggal, Kecamatan Gayungan.
Henry Christian (34), seorang korban tewas, tinggal di rumah orangtuanya di Jalan Menanggal. Di samping kiri rumah itu terdapat sebuah makam kecil. Di pojok belakang makam itu terdapat sebuah gubuk kayu dan sebuah kursi.
”Di gubuk itu cukrik diminum beramai-ramai. Gubuk itu dibuat setahun lalu khusus untuk pesta minum,” kata Firyandi, kakak Henry. Jika peserta pesta minuman keras lebih dari lima orang, beberapa orang di antaranya duduk di batu nisan.
Henry dan empat temannya minum cukrik selama dua hari berturut-turut, yaitu Minggu dan Senin (5-6/1). Mereka membeli cukrik di sebuah warung kecil di Pagesangan, Kecamatan Jambangan, Surabaya.
Polisi pun menetapkan tiga tersangka, yaitu Khayati dan Atem sebagai pengecer serta Juyani sebagai pemasok. Minuman cukrik itu diduga diproduksi di Kabupaten Tuban, Jatim.
Juyani tinggal di Mojokerto dan memasok cukrik kepada Atem sebanyak 20 kardus setiap pekan. Setiap kardus berisi 12 botol dengan kemasan 1,5 liter yang dijual Rp 270.000 per kardus.
Oleh karena mudah didapat, Firyandi berkali-kali menasihati adiknya untuk berhenti minum minuman keras itu. Namun, seperti Binarto, Henry mudah terpengaruh ajakan temannya pula. Sebagian besar teman Henry adalah pekerja bangunan atau tukang becak. Sehari-hari Henry mengelola kios kue yang dirintis kakaknya. Henry juga sudah memiliki seorang istri.
Setelah meminum cukrik itu, Henry merasa mual dan pusing pada Selasa (7/1) malam. Ia pun dirawat di RS Bhayangkara dan RSUD Dr Soetomo, Surabaya. Namun, jiwanya tidak tertolong. Ia meninggal pada Rabu (8/1).
Belum juga sirna duka di Menanggal, korban minuman cukrik kembali berjatuhan: 1 orang di Kabupaten Madiun dan 3 orang di Kabupaten Pasuruan, Jatim, Sabtu (11/1). Polisi masih mendalami kasus terakhir ini.

Terus berulang

Peringatan terkait bahaya cukrik sebenarnya sudah muncul setelah 11 warga Surabaya dan 3 warga Kabupaten Gresik tewas akibat mengonsumsi cukrik pada September 2013. Polisi mendapatkan dua distributornya, yaitu Budi Utomo dan Doni Nugroho. Budi dan Doni mendapatkan cukrik dari Kota Surakarta dan Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
Ismail, penjual cukrik yang membeli dari Budi, dalam sidang di Pengadilan Negeri Surabaya mengaku nekat menjual cukrik meski tahu tidak ada izinnya. ”Saya jual Rp 30.000 per botol ukuran satu liter. Saya sudah beli dari Budi selama setahun terakhir,” katanya.
Sosiolog dari Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto, mengatakan, cukrik bisa ada dan menjadi bahaya laten selama masih ada kemiskinan. Kasus cukrik ini pun muncul karena pola budaya subkultur masyarakat miskin. ”Meski tahu cukrik berbahaya, tetap saja diminum untuk menunjukkan keberanian. Jika tidak mati, mereka semakin bangga,” katanya.
Oleh karena itu, solusi atas kasus ini setidaknya melalui dua cara sekaligus. Pertama, polisi tumpas peredaran minuman keras ini. Kedua, negara berjuang memberantas kemiskinan. Jika tidak, cukriklah yang akan terus menghabisi generasi muda. (Sumber: regional.kompas.com)