Satu keluarga miskian di Kampung Petojo Binatu, Ag, It, dan bayi mungil Nan, meninggal diduga tertular penyakit setelah ayah mereka, Ag, menjadi pencandu putau. Irwansyah, Ketua RW 08 Kelurahan Petojo Utara, Kec. Gambir, Jakarta Pusat, dengan getir menuturkan nasib tragis warga pencandu narkoba.
Dari tahun 2000 sampai 2006 sudah lebih dari 30 orang pencandu yang meninggal karena sakit. Belum ada yang tewas karena overdosis, atau dinyatakan HIV/AIDS. tetapi ini sangat memprihatinkan," kata Irwansyah.
Kejadian yang menimpa keluarga Ag, warga RT 05 itu menjadi contoh memilukan. Ag (40) meninggal tahun 2004, It (30) meninggal kurang dari setahun kemudian, tahun 2005, dan Nan (2) meninggal beberapa bulan berselang.
"Semua kena gejala penyakit yang sama. Badan kurus seperti orang asma. Kata dokter sih kena hepatitis dan kanker," ujar Irwansyah.
Pertama kali Ag diketahui menjadi pencandu narkoba tahun 1998 dan terbiasa menggunakan jarum suntik. Hal itu berlangsung hingga dia sakit parah dan insaf, lalu mulai ikut kegiatan agama. Ag telanjur sakit parah. Penyakit itu menular kepada istri dan anaknya yang baru lahir.
Sewaktu jadi pencandu aktif, Ag kehilangan pekerjaan. Ketergantungan pada narkoba membuat dia makin tidak produktif. Mujur, dirinya tidak pernah ditangkap polisi.
Sewaktu insaf, dia tidak pernah pulih. Irwansyah mengenang, Ag selalu kelihatan seperti orang penyakitan, batuk-batuk, pundak naik, dan muka pucat.
Sepeninggal Ag, Taufik, warga setempat menimpali, It mulai terjangkit penyakit yang menurut dokter adalah sakit paru-paru. Demikian pula bayi pasangan itu tidak luput dari penyakit.
"Waktu ditimbang di posyandu berat bayi mereka selalu di bawah garis merah. Kami tidak pernah tahu apa penyakit yang diderita Nan, " kata Irwansyah
Sekeluarga jadi Pencandu
Nasib serupa juga pernah menimpa ayah, paman, dan keponakan di kampung yang sama.
Irwansyah yang berulang kali bersama warga menggerebek pencandu narkoba menjelaskan, Ch (45), adiknya, dan salah satu putranya juga meninggal karena ketergantungan pada narkoba.
Ch semula adalah seorang petugas satpam. Namun, karena kecanduan narkoba, dia pun kehilangan produktivitas dan pekerjaan. Musibah pun beruntun menimpa. Adik dan putranya turut menjadi pencandu. Berurutan mereka meninggal dunia. Ch dan adiknya meninggal tahun 2003, dan putranya menyusul tahun 2004.
Taufik membenarkan, berulang kali warga setempat berusaha memberantas peredaran narkoba tanpa jemu. "Masih untung disini sekedar pemakai, bukan bandar, " ujarnya.
Para pencandu umumnya memanfaatkan sebuah MCK yang tak terpakai dekat RT 05. Tempat itu terpencil dan sangat gelap di waktu malam sehingga sangat ideal untuk pesta narkoba.
Ruang kakus mampat, bau, dan adanya sarang nyamuk tidak mengurungkan niat mereka untuk menyuntikkan narkoba ke lengan demi memberi kelepasan sesaat.
"Sering kami gerebek, diarahkan dan bahkan dicarikan pekerjaan, tetapi tidak jera juga. Ada yang pasrah mengaku sehari bisa 12 kali nyuntik. Sekali pakai narkoba keluar uang Rp. 25.000 atau sehari Rp. 300.000. Padahal dia miskin dan tidak punya pekerjaan, "Irwansyah menuturkan.
Tak jauh dari Kelurahan Petojo Utara, masih di bilangan Jakarta Pusat, di Pejompongan sebuah keluarga mengalami derita serupa akibat diperbudak narkoba. Sebuat saja Sil dan suaminya yang kehilangan warisan Rp. 300 juta dalam empat bulan demi membeli sabu.
Win (26) sahabat Sil, menjelaskan pasangan itu sebetulnya berasal dari keluarga berada. Bahkan almarhum ayah Sil adalah pensiunan perwira tinggi berbintang dua. Kini keluarga itu menempati lahan umum untuk membangun sepetak rumah.
RW 08 Kelurahan Petojo Utara adalah gambar kecil dari gunung es persoalan narkoba di Jakarta dan Indonesia. Kisah kelurga Ag, Ch, dan Sil adalah puncak gunung es persoalan keluarga, HIV/AIDS, dan kehancuran akibat narkoba. (http://www.bnn.go.id/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar