Konon, kata orang, ganja Aceh adalah terbaik di dunia. Tapi, berpuluh-puluh tahun, bahkan hingga hari ini, apa yang kita tahu tentang ganja Aceh sangat terbatas. Para peladang pemberani menanam ganja. Ketika cukup umur, ganja dipanen. Lalu dikeringkan, digonikan, dijual. Kemudian beredarlah ganja Aceh hingga ke luar daerah, bahkan ke luar negeri, dan sebagian besar beredar di Aceh sendiri.
Kita tidak tahu bagaimana nasib ganja yang beredar di luar negeri. Mungkin menemui jalannya yang lebih mulia di bejana laboratorium-laboratorium hingga menyumbang terhadap dunia kesehatan yang membantu tersambungnya nyawa-nyawa manusia. Sedangkan yang beredar di daerah lain di Indonesia, semoga tidak malah membebani moral keacehan yang lebih mengukuhkan diri sebagai benteng pertama dan terakhir kesucian spiritual islami di Nusantara.
Sedangkan ganja yang beredar di Nanggroe sendiri, sebagian terkecil menjadi bumbu penyedap masakan berbahan baku daging. Namun sebagian terbanyak menjadi bahan campuran rokok, untuk dihisap, terutama oleh para pemuda, yang membuat saraf pikir mereka berada dalam kondisi rehat, rehat dari kondisi sebelumnya yang justru tak pernah lelah, istirahat dari kondisi sebelumnya yang justru tak pernah digunakan untuk bekerja dan berpikir.
Itulah siklus ganja Aceh. Belum disinggung risiko hukum yang lebih memenjarakan jiwa-raga dibandingkan kemerdekaan kepulan asap dapur yang diperoleh darinya. Begitu sempit dan terbatas. Sama sekali tanpa sentuhan kreativitas yang membuat ganja Aceh berfaedah lebih dari hanya sekadar untuk dihisap dan diracik sebagai bumbu masak untuk mengempukkan gulai daging. Seakan-akan Aceh ini hanya dihuni oleh para pemabuk dan pemakan daging.
Giok juga apa bedanya. Capek dan ramai-ramai rakyat Aceh mengeruk tanah indatunya, menggerogoti tebing alamnya, melinggis gunung Tuhannya, lalu bongkahan-bongkahan bebatuan itu dipikul dengan beban yang membuat tulang belakang sampai melengkung dan tulang-tulang rusuk gemeretakan, namun ujung-ujungnya giok Aceh hanya menempel di liontin yang menggantung di antara dua “gunung” perempuan, dan selebihnya berakhir di jemari buduk para lelaki genit setengah edan.
Namun hingga hari ini, bahkan mungkin sampai kelak gunung-gunung dipahat serata lembah, belum akan ada sebuah masjid pun sempat dibangun yang dinding dan lantainya tersusun dari batu giok sebagai sebuah mahakarya dan menjadi inspirasi kelas dunia.
Lalu, karena hidup mewajibkan kita untuk bertahan, kita pun berburu tokek (memotong siklus rantai makanan), berburu landak (merusak sisten keseimbangan ekologi), berburu barang-barang antik (menghilangkan kekeramatan antropologis), menggali emas (menebar racun merkuri), mencongkel giok (merusak bentang alam).
Dan semua itu kita sebut sebagai: sumber ekonomi baru. Dengan kata lain, kita gagal menolong diri-sendiri dengan sumber-sumber ekonomi kreatif yang tidak mengharuskan kita menyumpal mulut anak-anak kita, tanpa harus menguras warisan Indatu. Artinya, kita gagal menyentuh segala yang ada dengan kreativitas dan inspirasi.
Mari sejenak kita menapaki lantai dingin di ruang-ruang sepi perpustakaan. Dan kita pun menelisik buku-buku yang berjejer di segenap rak. Jika ada yang berbicara tentang Aceh, itu nyaris pasti bukan melalui novel.
Novel Aceh 2025 karya Thayeb Loh Angen akan diterbitkan dalam waktu dekat. Novel itu berkisah tentang betapa majunya Nanggroe Aceh pada sepuluh tahun mendatang. Jika di tahun 2025 kelak ternyata Aceh tak sehebat dalam Aceh 2025, apakah Thayeb Loh Angen sebagai pengarang novel itu masuk dalam kategori “pemikir tak berhasil” yang gagal dalam menewarang? Tidak! Tapi justru Aceh dan segenap manusianyalah yang gagal. 9http://aceh.tribunnews.com/)
* Musmarwan Abdullah, sastrawan dan tinggal di Pidie. Tulisan di atas merupakan bagian dari tulisannya yang akan dibentangkan pada peluncuran novel Aceh 2025, Kamis, 12 Februari 2015, di Banda Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar