Ahli kesehatan masyarakat dan dokter
di Provinsi Bali mendesak Kementerian Kesehatan membuat regulasi khusus
terkait penanganan korban minuman keras oplosan, yang diterapkan di
puskesmas dan rumah sakit di seluruh Indonesia. Sebab persoalan oplosan
sudah masuk dalam tahap kritis dan darurat, sehingga perlu penanganan
yang lebih terpadu.
"Baik itu berupa kampanye anti oplosan di tingkat pendidikan formal dan informal, kurikulum pendidikan bermuatan lokal di pendidikan lanjutan kedokteran maupun kesehatan hingga regulasi yang memihak korban oplosan," kata Ketua Tim Perumus dari Universitas Udayana, I Made Subrata di Denpasar, Kamis (25/6).
Menurutnya, penanganan korban minuman keras oplosan ditangani dengan diberikan ethanol yang sediaanya berasal dari minuman bir, anggur, vodka, dan minuman alkohol lainnya. "Payung hukum itu misalnya mengatur penyediaan ethanol (bir, wine, vodka dan minuman alkohol lainnya) di puskesmas dan rumah sakit untuk menangani korban oplosan. Salah satu cara menolong korban oplosan ya dengan diberikan etanol, " ucapnya.
Penanganan korban minumen keras yang dioplos telah menjadi sorotan dunia internasional mengingat Bali merupakan daerah wisata dunia. Ia menjelaskan tahun 2009 ledakan kasus keracunan metanol di Pulau Dewata yakni dari 31 pasien yang dirujuk ke Rumah Sakit Sanglah, 93,54 persen merupakan laki-laki dan sisanya perempuan.
Awal 2013 lalu, Menteri Luar Negeri Australia, Bob Carr, bahkan mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan pengawasan atas minuman keras oplosan.
Desakan ini dilakukan setelah seorang pemuda Australia, Liam Davies meninggal dunia di rumah sakit Sir Charles Gardner, Perth, setelah pemuda itu mengkonsumsi arak oplosan ketika merayakan tahun baru di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Tidak hanya di Pulau Dewata, kasus oplosan juga marak terjadi di beberapa daerah lain di Indonesia, dengan catatan ratusan korban jiwa berjatuhan setiap tahunnya di Indonesia akibat konsumsi oplosan ini.
Pertengahan September 2013 lalu, sebanyak 14 orang di Kota Surabaya dan Gresik meninggal usai mengkonsumsi oplosan jenis cukrik. Selain merengut nyawa belasan orang, cukrik juga menyebabkan puluhan orang dirawat di rumah sakit untuk menjalani cuci darah sebagai upaya menetralkan racun yang mencemari darah di dalam tubuh korban.
Selain membuat Standar Operasional penanganan korban oplosan di puskesmas dan rumah sakit, ia menambahkan bahwa pihaknya juga akan mendampingi para pembuat minuman beralkohol tradisional Arak Bali di Kabupaten Karangasem agar tidak tercampur dengan methanol.
"Minuman beralkohol sudah menjadi budaya dalam masyarakat. Sehingga tidak hanya peminumnya, para pembuatnya juga harus mendapatkan edukasi," katanya.
Arak Bali, yang mulai dikenal di era tahun 90-an, setelah dipopulerkan oleh grup musik Slank dengan lagu berjudul 'Bali Bagus', kini mulai dikenal dunia internasional. Minuman tradisional asal Pulau Dewata itu kini berhasil dipajang bersama minuman sejenis lainnya di salah satu gerai penjualan minuman beralkohol di Bandara Internasional Ngurah Rai Bali.
Rektor Universitas Udaya, Prof DR dr Made Suastika Sp.PD (KEMD) mengatakan untuk menangani masalah itu bukan dengan regulasi pelarangan dan pembatasan menjual minuman beralkohol melainkan dengan edukasi kepada masyarakat.
"Sejumlah regulasi baik ditingkat Peraturan Daerah (Perda) maupun Pusat (RUU Minol) tidak efektif menekan korban oplosan dan penyalahgunaan minuman beralkohol. Perlu edukasi secara terpadu, baik berupa edukasi di dunia pendidikan melalui kurikulum dan model penyuluhan kepada masyarakat di daerah yang banyak memakan korban oplosan," katanya.
Untuk memantapkan hal itu, forum dokter dan ahli kesehatan masyarakat di Bali melakukan pertemuan dalam seminar bertajuk Pencegahan dan Penanggulangan Korban Oplosan yang digelar di Denpasar, pada Rabu (24/6).
Seluruh ahli yang diundang sebagai peserta, termasuk dari kedokteran kepolisian sampai tingkat puskesmas di Bali yang sering menangani korban oplosan sepakat perlu adanya payung hukum yang jelas agar tidak ada lagi korban meningkat akibat oplosan. (www.republika.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar